Selasa, 18 September 2018

Jenuh

Pikiranmu haruslah luas
Pandanganmu pun sudah semestinya jauh
Dan perasaanmu wajiblah berbahagia
Sebahagia-bahagianya.

Memandang satu hal tidak untuk dikaitkan dengan hal lainnya.
Merasakan satu peristiwa, pun tidak lantas memandang buruk peristiwa lainnya.

Dirimu haruslah terbuka,
Selebar-lebarnya.
Napasmu haruslah lega,
Sebebas-bebasnya.

Candumu haruslah baik
Hobimu haruslah menenangkanmu
Khayalanmu haruslah terbang setinggi-tingginya.
Kekanganmu haruslah patah.

Orang-orang diluar dirimu bukanlah ukuran mutlak sebuah kepantasan.
Kewajiban-kewajiban diluar dirimu pun tidaklah pantas membebanimu.
Ragamu bebas. Jiwamu bebas.

Tak usah kaku. Cukup membatasi.
Tak perlu kuatir, cukup jaga-jaga.
Tak perlu menahan, cukup melepaskan.
Dan tak perlu memaksakan, cukup sambut dengan nyaman.
Senyaman-nyamannya.

Karena kamu, kejenuhan yang tak terbatas. Dan kebebasan yang tak terbantahkan.

I

Kalo ada yang baca judul blog kali ini (i) atau 1(satu) atau I('saya' jika diartikan dalam bahasa indonesia) maka pasti sudah tau arah tulisan ini. Kita dibuat bingung dengan orang-orang yang katanya menyuarakan kebebasan, kayak contoh : "menikah bukan hanya soal selangkangan", "menikah adalah ibadah", "menikah adalah mencintai orang yang sama setiap harinya". Oke untuk 2 hal setelahnya saya setuju, tapi untuk 'bukan'hanya soal selangkangan. What? Lalu dikira bahwa agama ada dibawah selangkangan. Sama sekali bodoh! Justeru itu menunjukkan bahwa nafsu ada dibawah agama(apapun)! Karena agama dan segala aturan baik di dalamnya akan mencegah 'selangkangan' anda untuk membabi buta.
It's okay! 'Menikah untuk menjauhi zina', apa yang salah dari itu? Aku rasa niat itu beragam, dan kamu yang bilang menikah 'hanya' untuk menjauhi zina, aku berani bertaruh kamu masih ingin senang-senang bukan? Kamu masih ingin menerbangkan 'selangkangan' mu lebih jauh lagi. Dan satu lagi, itu bukan 'hanya' itu adalah awal kamu mau dijaga, kamu mau menjaga, kamu mau luluh, kamu mau mengalah, kamu mau menerima. Sudahkah bertanya pada dirimu. "apa iya, aku benar-benar sebegitunya terhadap pernikahan, atau aku sedang mencoba menutupi kegalauanku dan sok tau memasuki kegalauan orang-orang". Haha.


  • (besok-besok kita bahas hal lain lagi ya, saya ngantuk. Kekenyangan) 

Minggu, 16 September 2018

Settingan

Senin pagi.
Hari yang gausah dijabarin lagi lah ya. Karena sudah pasti hari ini orang-orang banyak yang keluar pagi-pagi sekali. Entah itu kerja, ato cari-cari kerjaan. Banyak yang bilang senin pagi itu menyebalkan, melelahkan, membosankan. karena sebagian besar pada sedang ngantuk-ngantuknya, Dan belum bisa beranjak dari hari minggu yang begitu singkat, alhasil muka jadi merengut kayak kanebo kering kepala nyut nyutan kayak belom sarapan, padahal emang iya. Tapi apa iya hari senin sebagai pengawal hari di minggu ini sebegitu menyebalkannya, bisa jadi kita lupa menikmati jalan pagi kita ketempat kerja. yaaa meski jalan masih dingin karena matahari pun belum merayap keluar, atau jalan yang berdebu karena berangkatnya kesiangan. Hehe. Aku baru tau, senin pagi memang menyebalkan. Karena senyum orang-orang tiba-tiba saja lenyap kayak asap, sikap yang salah untuk mengawali hari sebenarnya, tapi mau gimana lagi. Ibarat hal baru, hari senin adalah adaptasinya dan itu ga mudah. Tapi bukan berarti gabisa. Aku nemuin satu cara biar senin pagi selalu cerah kayak sabtu malam wkwk.

Sabtu, 15 September 2018

Kosong

Siapa disini yang takut bersedih? Meski disaat sendiri. Kalau ada, kita sama. Aku pun begitu, semua yang sakit-sakit aku pendam sendiri Sementara banyak yang memaksa untuk berbagi, katanya sedih itu jangan lama-lama. Katanya juga sedih itu jangan disimpan sendirian. lalu apa? Apa yang akan terjadi setelah kesedihan aku, kesedihan kami dibagi. Apa akan berkurang? Tidak sayang, dia hanya terluapkan sisanya kembali lagi kedalam disaat-saat sepi dan sendiri. Tapi aku beruntung kamu masih mau berbagi kesedihan denganku lalu membuatnya seolah-olah tak pernah terjadi. Dan sekali lagi aku beruntung kamu menyadarkanku untuk hidup lebih realistis. Tapi sayang sekali hal itu hanya membuat kesedihanku kembali dicampakkan tepat didepan wajahku. Adakah kamu yang mau sejenak berjalan menyusuri kesunyian dan kesedihan bersamaku tanpa harus mendobraknya atau merobeknya, tanpa harus membuatnya seolah-olah tak ada padahal tertancap dalam. Ataukah kamu yang mau melewati segala kesedihan sampai kita berdua lelah dan bosan bersedih? Tak perlu kesedihan yang sama untuk menyusuri jalan ini sayang, hanya perlu pemahaman yang sama bahwa kita harus bersedih lalu harus jenuh bersedih. Karena aku sudah bilang berkali-kali, sedih adalah cara, dia tidak akan lama. Hanya akan berulang.

Hampa

Pagi ini aku berniat untuk menyusuri jalan menggunakan angkutan umum. Ini hari minggu tapi rasanya aku tak tau harus kemana atau mau kemana. Aku hanya ingin duduk saja diatas angkutan umum sambil melihat-lihat jalan, sampai kemana angkutan umum ini membawaku. Beberapa orang sudah naik turun berganti-gantian sedangkan aku masih saja menikmati matahari pagi yang sudah terang lewat kaca angkutan di depanku. Cahayanya menembus membentuk garis melewati mataku, rasanya hari ini cerah sekali. "mau turun dimana neng?" aku menghela napas, akhirnya ditanya juga, batinku. "neng?" "disini aja pak" kakiku masi kelu padahal. Lagipula ini dimana? Asal turun saja. Gerai-gerai sarapan pagi yg ditutupi spanduk seadanya berjejer dihapanku dari sini aku bisa melihat seorang ibu paruh baya sedang menonton youtube, mungkin dangdut academy semalam atau episode yang kemaren-kemaren. "bu ada jual apa aja?" "ini ada nasi uduk neng, gorengan juga ada, minumnya mau apa neng?" "nasi uduk satu sama teh anget ya bu" selang beberapa saat sarapanku datang, sebenarnya sebelum berangkat tadi aku sudah sarapan nasi kuning dirumah. Tapi Tak apalah biar ada kerjaan. Setelah perjalanan pagi mingguku yang sunyi tadi aku pun kembali menyetop angkot, kali ini aku berniat pulang karena sudah jam setengah sepuluh (siang). Angkot kembali melaju, kepala dan badanku hanya bergoyang-goyang menuruti laju angkot, bedanya sekarang aku mengamati jalan dalam keadaan kenyang yang membuatku sedikit mengantuk. Sampai rumah aku akan langsung tidur, pikirku. Rumahku tak jauh dari ujung jalan pemberhentian angkot jadi aku tinggal jalan sedikit saja, rumah sepi tak ada siapapun, hanya aku sendiri. Niatku untuk tidur semakin kuat, akupun masuk kamar dan meraih bantal, semakin aku terisak aku semakin lelah dan ngantuk, tidurku pasti pulas, syukurlah.